Kelesuan dunia bisnis membawa aneka akibat pada banyak perusahaan, di antaranya yang dianggap paling serius – ialah mengecilnya cash-flow perusahaan. Kecilnya pemasukan otomatis menuntut peningkatan efisiensi, yang sering mengakibatkan peningkatan jumlah PHK, baik itu pada taraf pekerja kasar maupun taraf manajer. Alhasil, hampir semua karyawan merasa kedudukannya terancam, tidak aman, dan ingin selamat. (Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi yang bagus tentang career planning dan HR Management, silakan klik DISINI ).
Dalam keadaan seperti ini, maka pertanyaannya ialah : realitiskah bila perusahaan tetap mengandalkan (bahkan menuntut) loyalitas total dari karyawannya? Hampir semua anggota masyarakat mendambakan tempat kerja yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya secara kontinyu dan bebas gejolak. Pekerjaan merupakan jangkar bagi rasa aman dan tenteram dalam ke-hidupannya, dan secara wajar diharapkan berlangsung terus.
Keinginan itu terayata tidak sesuai dengan realitas sehari-hari. Bahkan, di Indonesia, sudah menjadi semacam pedoman bahwa bila ingin pekerjaan yang relatif aman (job security) maka masuklah ke instansi pemerintah, menjadi pegawai negeri. Memang penghasilan sering dinilai jauh dari memadai, tetapi penghasilan ini bersifat tetap selain ada kepastian memperoleh pensiun kelak, di luar tunjangan-tunjangan lainnya.
Sebaliknya, penghasilan yang relatif lebih besar dapat diperoleh di sektor swasta, terutama perusahaan asing. Memang swasta mungkin tidak bisa memberi jaminan jangka panjang seperti di sektor pemerintah tetapi bagi yang tidak mengutamakan masalah “job security”, maka ini tidak menjadi persoalan.
Tentunya, terjun dalam sektor swasta berarti memperhitungkan kemungkinan terjadinya gejolak-gejolak di dalam perusahaan sebagai akibat kondisi dunia usaha yang naik turun. Kenyataannya seka-rang, saat bisnis di mana-mana lesu, karyawan sektor swasta banyak yang menjadi korban, apakah itu dalam bentuk PHK ataupun bentuk lain seperti “perumahan” dan sebagainya. (Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi yang bagus tentang career planning dan HR Management, silakan klik DISINI ).
Loyalitas
Apabila hal ini terjadi di perusahaan Anda, maka perlu dipikirkan bahwa loyalitas pegawai, kalaupun ini sempat tumbuh di kalangan karyawan boleh jadi mengalami kelunturan. Mengapa?
Kemungkinan karena melihat bahwa cukup banyak rekan-rekan sekerjayang kini menganggur sehingga karyawan yang belum terkena pisau PHK akan merasa terancam. Ini paling tampak, misalnya, pada karyawan tingkat bawah, yang secara nyata memang paling sering mengalami PHK ataupun tindak-tindak manajemen lain yang sejenis. Tetapi, akhir-akhir ini tampaknya level manajerial menengah dan bawah pun banyak yang mulai menyadari bahwa kedudukannya di perusahaan tidaklah indispensable, bahwa manajer pun bisa terkena PHK!
Akibat-nya, kalau dulu loyalitas manajer perusahaan diasumsikan pasti, maka sekarang keadaannya tidak demikian. Di Amerika Serikat, hal ini terbukti melalui pengamatan yang telah dilakukan oleh Opinion Research Corp., yang selama 15 tahun telah meneliti karyawan-karyawan dari banyak perusahaan. Bila hasil yang diperoleh antara tahun 1970-1974 menunjukkan, sebanyak 69% dari ribuan manajer masih “percaya” akan kompetensi pimpinannya untuk mengelola perusahaan secara baik (sehingga pekerjaan pun relatif terjamin), maka angka ini merosot secara drastis antara ta¬hun 1980-1985 menjadi 47% saja.
Walaupun analoginya belum tentu bisa ditarik di Indonesia, tetapi paling tidak perkembangan seperti di atas, di negeri Paman Sam, dapat menjadi buah pikiran bagi pimpinan perusahaan di sini, terutama dalam merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian. Kiranya semua sependapat bahwa korps karyawan yang loyal dan penuh dedikasi merupakan prasyarat bagi kemungkinan terjadinya peningkatan produktivitas, yang memang amat diperlukan bila hendak menembus kondisi ekonomi yang lesu ini.
Hasrat Untuk Setia
Walaupun berbagai studi yang dilakukan di Amerika, misalnya, menunjukkan adanya kecenderungan menurun dalam hal loyalitas manajer dan karyawan terhadap perusahaannya, namun kesimpulan menarik yang ditarik oleh George E. Breen, bekas direktur pemasaran perusahaan Stanley Works Corp. berdasarkan penelitiannya pada tahun 1980-an — menunjukkan bahwa pada dasarnya para manajer dan karyawan ini ingin setia pada sesuatu, dalam hal ini setia pada perusahaan.
Memang hasrat seseorang untuk setia pada individu atau pihak lain merupakan gejala yang universil, yang secara psikologis merupakan akibat dari hasratnya untuk bersama-sama dengan orang lain. David McClelland, seorang psikolog perusahaan, menamakan hasrat itu sebagai “The need for Affiliation” (N.aff), yang pada individu ada secara berdampingan (waktu tidak selalu proporsional) dengan kebutuhan lain seperti hasrat akan kekuasaan dan hasrat akan berprestasi.
Adapun alasan pokok seseorang ingin setia pada pihak lain, atau berada bersama-sama pihak itu, ialah salah satu bentuk respons terhadap keinginannya untuk merasa aman. Kebersamaan, dan loyalitas, relatif memberi persepsi bahwa dirinya tidak sendirian dalam menghadapi ancaman yang datang dari luar diri. Rasa kebersamaan (“sense of belonging”) terkadang memang memberi rasa aman dan kehangatan. Dalam bentuk yang ekstrim, ra¬sa kebersamaan seperti ini dapat menumpulkan daya kritis dan obyektifitasnya terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan perusahaannya.
Memang ini dapat dikatakan se¬bagai sisi negatif bila kesetiaan terhadap perusahaan sifatnya mengarah ke total. Proses terjadinya kese¬tiaan yang total ini kira-kira dapat digambarkan sebagai berikut: se-buah perusahaan telah memberikan pekerjaan pada seorang karyawan. Wajarlah bila perusahaan mengharapkan rasa terima kasih dari karyawan itu.
Dalam kedudukannya di perusahaan, karyawan tersebut boleh jadi diharap toleran terhadap atasan yang agak otoriter, jam kerja yang panjang, frekuensi kepergian-kepergian dalam rangka bisnis yang tinggi, seringnya berpi-sah dengan keluarga, dan sebagainya. Nah, selama karyawan ini tekun melakukan hal di atas, ia dapat sepenuhnya yakin bahwa perusahaan akan menjamin kehidupannya, membela dirinya dalam berbagai kesulitan. Karyawan diharap berprestasi terus karena kesejahteraan diri dan keluarga sudah diemban perusahaan.
Beberapa Segi Negatif
Selanjutnya, perkembangan seperti ini memperbesar peluang bagi perusahaan untuk bertindak secara tidak fair kepada karyawan, dengan asumsi bahwa karyawan toh tidak akan protes. Selain itu, pada karyawannya sendiri dapat timbul sikap “salah atau benar, pokoknya peru¬sahaan saya benar”, sikap yang dapat mengurangi kepekaan karyawan akan aneka perubahan yang terjadi di sekitarnya. Bagi para manajer atau karyawan yang sering berhubungan dengan masyarakat dalam kegiatan sehari-harinya, maka sikap ini dapat membuatnya menjadi kurang peka terhadap kritik-kritik yang datangnya dari para konsumen, terhadap perkembangan-perkembangan baru dalam teknologi yang digunakan perusahaan, atau terhadap meningkatnya per-saingan dari dalam maupun luar negeri.
Donald C. King dari Universitas Purdue menunjuk pada stud perbandingan antara teknisi dan insinyur yang mengidentifikasikan dirinya (baca: loyal) lebih pada profesinya, dengan mereka yang mengidentifikasikan dirinya lebih pada perusahaan. Ternyata mereka yang condong pada profesi secara umum dapat dinilai sebagai karyawan yang lebih baik karena ketajamannya terhadap aneka perubahan teknologi dalam bidangnya dapat diserapnya dengan cepat untuk manfaat perusahaan. Rupa-rupanya “pragmatisme” dalam ketrampilan profesional lebih bernilai daripada sekedar unjuk kesetiaan.
Sayangnya, perusahaan sering tidak bisa memenuhi kewajibannya terhadap karyawan, bukan saja karena keadaan ekonomi yang lesu, tetapi juga karena karyawan dan para manajer seringkali mengharapkan pekerjaan yang lebih menantang sifatnya. Banyak karyawan, terutama mereka yang tergolong manajer atau profesional muda, yang menginginkan pekerjaan yang menuntut kreativitas dalam pengambilan keputusan. Inisiatif merupakan bumbu dalam pekerjaan yang senantiasa harus ada, agar tak hambar penghayatannya.
Kepuasan kerja akan menjadi fungsi dari kedua hal di atas — inisiatif dan kreativitas — sehingga ganjaran-ganjaran yang selama ini lazim di-berikan dalam suatu perusahaan mungkin menjadi kurang bernilai bila tidak disajikan dengan mempertimbangkan kedua unsur itu.
Ada kesulitan lain yang mungkin dihadapi perusahaan dalam usaha-nya menciptakan lingkungan/iklim kerja yang memuaskan bagi karyawannya dan sekaligus produktif buat perusahaan sendiri, yakni meningkatnya keinginan karyawan untuk lebih berperan dalam proses pembuatan keputusan atau perumusan kebijakan. Ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap pendekatan “top-down” yang selama ini sering berlaku di perusahaan-perusahaan mana pun juga dan kiranya menjadi unsur yang menentukan bila perusahaan seperti itu tidak bisa mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat.
Cukup banyak bukti bahwa perusahaan yang berani menyebarkan sebagian wewenang pengambilan keputusan kepada mereka yang ada di “lapangan” mempunyai kelenturan untuk menyerap kemajuan-kemajuan di bidangnya sehingga dapat bertahan dalam iklim usaha yang persaingannya kian sengit.
Tentunya, kalau perusahaan kesulitan untuk memenuhi kondisi di atas maka wajarlah bila timbul pertanyaan di kalangan karyawan mengenai seberapa jauh mereka perlu setia pada perusahaan. Toh perusahaan belum tentu bisa mengimbangi kesetiaan itu secara memadai.
Modus Loyalitas Baru
Apa yang terurai di atas tentunya tidak berarti bahwa loyalitas atau kesetiaan kepada perusahaan merupakan “barang” yang uzur. la tetap akan dibutuhkan oleh perusa-haan mana pun untuk mencapai sa-saran-sasaran operasionalnya. Hanya saja, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi seperti sekarang ini, serta berkembangnya sikap-sikap dan pandangan-pandangan baru karyawan terhadap pekerjaannya, maka ada baiknya gambar-an mengenai loyalitas ini mengalami sedikit perubahan.
Tak bisa seperti dahulu (ketika perusahaan condong mengharapkan loyalitas yang kaku dari karyawannya) maka sekarang sikap yang lebih bisa diterima ialah bila peru-sahaan secara terus terang sejak awal mengatakan, kesempatan-kesempatan apa yang terbuka bagi individu yang hendak dipekerjakan. Jalur promosi – dan persyaratan-persyaratan yang terkandung di dalamnya – hendaknya cukup jelas bagi calon karyawan agar tidak ada kebimbangan mengenai masa depan saat ia sudah bekerja.
Sebaliknya, pada karyawan pun akan tumbuh respek terhadap ke-terbukaan perusahaan dalam hal kewajibannya pada diri karyawan. Walaupun respek ini tidaklah identik dengan kesetiaan total model lama, namun tetap merupakan suatu dasar untuk bekerja yang amat menguntungkan bagi perusahaan. Paling tidak ini merupakan suatu ikatan yang tidak bersifat rasional belaka tetapi sudah mengandung unsur kesetiaan sang karyawan.
Bisa jadi sikap ini dapat tumbuh menjadi suatu komitmen yang erat terhadap bangun-jatuhnya nasib perusahaan, suatu bentuk perwujudan rasa kebersamaan yang amat langka di lingkungan perusahaan. Dalam bentuknya seperti ini, maka pada karyawan telah merasuk suatu nilai yang sulit diperoleh melalui “pemaksaan” kesetiaan dari perusa¬haan.
Jelas bagi semua, terutama pimpinan perusahaan, bahwa suatu korps karyawan yang berdedikasi dalam bekerja, ditunjang suatu sistem nilai “setia” (pola baru) pada perusahaan, kelak akan bermanfaat secara konkrit bagi perusahaan di mana ia bekerja. Sungguh satu hal yang perlu dipertimbangkan.
(Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi yang bagus tentang career planning dan HR Management, silakan klik DISINI ).
Sumber : Majalah Eksekutif Edisi Januari 1986